Semoga Allah SWT yang menguasai tubuh kita memberikan
karunia kesehatan lahir dan batin yang dapat disyukuri. Sebab ada
saatnya sehat yang tidak disyukuri mengantarkan orang kepada maksiat.
Kalaupun Allah memberikan ujian sakit, mudah-mudahan orang yang sakit
itu bisa menyikapinya dengan sabar. Sebab, adakalanya orang yang sakit
menjadi hina karena ketidaksabarannya dan orang yang sehat menjadi hina
karena ketidaksyukurannya.
Allah berfirman dalam Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. al-Ashr: 1-3).
Dari ayat di atas dapat kita lihat bahwa kata-kata “sabar” adalah
kuncinya. Dalam ayat lain juga disebutkan tentang sabar seperti, “Wahai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
(Q.S. Albaqarah: 153).
Begitu pentingnya kesabaran sehingga pahala orang yang sabar bighayri hisaab, lewat dari perhitungan Allah (melampaui batas).
Kalau kita sadari, hidup sukses, menang mengarungi hidup, mendapatkan
pertolongan Allah di kala sulit, dan kemampuan untuk akrab bersama-Nya,
ternyata hanya dimiliki oleh orang-orang yang sabar. Maka sudah
sepatutnya bagi kita untuk lebih serius lagi mengevaluasi kualitas
kesabaran kita. Makin sabar kita, maka makin mantap kita menghadapi
hidup ini.
Lalu, apa sebenarnya “sabar” itu? Sederhananya, sabar itu adalah
kegigihan kita untuk tetap berada di jalan yang disukai oleh Allah.
Dalam tulisan berikut ini akan kita bahas kesabaran ketika kita sedang ditimpa sakit.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, Innalillahi wa inna ilaihi
raaji`uun (Q.S. Albaqarah: 155-156).
Ayat di atas hendaknya menjadi tuntunan bagi kita ketika sedang ditimpa musibah, khususnya sakit.
Berprasangka baik kepada Allah
Ada beberapa akhlak sabar yang sebenarnya bisa kita latih saat kita
sakit. Pertama-tama kita harus sabar dalam berprasangka baik kepada
Allah. Dengan begini kita akan menyadari bahwa tubuh ini sebenarnya
milik Allah bukan milik kita. Sedikit pun kita tak punya kuasa pada
tubuh ini.
Karena kita sadar kalau tubuh ini bukan milik kita tetapi milik Allah,
sehingga kuasa-Nya tak akan bisa dicegah oleh makhluk. Meski
dokter-dokter diturunkan untuk menolong kita, tanpa kehendak-Nya, sakit
yang kita alami tak akan sembuh-sembuh, betapapun gagahnya tubuh kita.
Namun, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kesanggupannya. Sakit yang menimpa tubuh kita sudah pasti telah diukur
oleh Allah. Sesakit apa pun derita yang kita alami pasti sudah diukur.
Bahkan sampai yang “luar biasa” pun telah diukur oleh Allah. Tidak
mungkin Allah memberikan kepada kita sesuatu yang tidak sanggup kita
pikul. Karena yang menciptakan saraf sakit juga Allah yang Mahakuasa.
Maka yakinilah selalu bahwa setiap sakit yang kita derita pada
hakikatnya sudah diukur oleh Allah. Karena itu, biasakanlah untuk selalu
mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun”, saya adalah milik
Allah, Allah sangat mampu berbuat apa saja kepada diri ini. Karena,
kalau saja tenggorokan ini milik kita, maka kita akan melarangnya untuk
terbatuk-batuk. Kenyataannya, tetap saja tubuh ini milik Allah yang
tidak bisa kita atur seenaknya.
Tidak berkeluh kesah
Akhlak kedua agar kita bisa bersabar ketika sakit adalah berusaha untuk
tidak berkeluh kesah. Sebab keluh kesah termasuk tanda-tanda dari
ketidaksabaran, Ngarasula kalau dalam bahasa Sunda. Sampai-sampai
berucap begini, Auuhhh… aing ieu mah nyeri pisan (Aduh, ini sakit sekali
rasanya). Alaahhh siah mamah ieu mah teu kuat, ngajeletotna kabina-bina
(Aduh Mak, nggak kuat, sakitnya sakit sekali).
Biasanya, orang menderita itu bukan karena sakitnya, tapi karena
dramatisasinya. Dan termasuk tidak sabar kalau kita ingin menceritakan
sakit kita dan yang diceritakan itu lebih daripada kenyataan.
Belum-belum berkata begini, “Aduuuhh, ieu, peurih…, peurih yeuh” (Aduuh,
ini sakit sekali) Padahal sebenarnya biasa-biasa saja rasa sakitnya
itu.
Kebiasaan mendramatisasi rasa sakit ini ternyata ada saja yang
menyukainya. Entah mengapa, ada semacam kesenangan ketika melihat ada
orang yang bersimpati padanya. Dia puas mengajak orang lain menderita.
Padahal, ini pun termasuk dari sikap tidak sabar menghadapi sakit.
Oleh karena itu, betapa pun parahnya penyakit kita, cobalah untuk
memproporsionalkannya. Tak usah kita sampai berteriak-teriak segala.
Maka ketika kita sakit cobalah latihan sabar untuk tidak
mendramatisasinya.
Kalau awalnya kita mengekspos ke mana-mana, maka ada baiknya mulai saat
ini kita mengeluh dengan menyebut nama Allah. Seperti, “Yaa Allah, ya
Rabb, ya Syafii….” Ucapan semacam ini jelas akan membawa manfaat dan
pahala.
Untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, misalnya, tak usah sampai
menyebut-nyebut nama pendamping. Soalnya suami pun tidak bisa berbuat
apa-apa saat itu, sampai berucap, “Papaahhh….” Kalau kemudian kita
meninggal saat itu, bisa jadi tidak ada pahalanya. Na`udzubullahi min
dzaliq. Lebih baik nama Allah saja yang disebut, seperti, “Ya Allah, ya
syafii, ya ghafururrahiim, ya arhamar raahimiin, ya shabuur, ya
arhamarraahimiin”. Insya Allah sakitnya akan diubah oleh Allah menjadi
nikmat.
Di samping itu, jangan jadikan sakit kita itu membuat kita
bermanja-manja dengan membebani orang lain. Selagi masih sanggup, jangan
korbankan harga diri kita kecuali kalau orang itu senang membantu.
Namun kalau kita sampai diharuskan bed rest (beristirahat di tempat
tidur), maka, adalah suatu kezaliman pada diri sendiri bila kemudian
kita memaksakan tubuh kita untuk bergerak.
Menafakuri hikmah sakit
Akhlak selanjutnya adalah sabar menafakuri hikmah sakit. Banyak hikmah
ketika sakit yang sebenarnya bisa kita raup. Ambil contoh kecil, ketika
kita sariawan. Bibir memang terasa tak enak, makan pun jadi tak enak.
Tapi, bandingkanlah sakit kita dengan mereka yang lebih sulit lagi dari
sariawan, yang lebih parah lagi sakitnya. Maka dari sini kita bisa
menilai bahwa masih ada lagi orang yang lebih parah sakitnya daripada
yang kita rasakan.
Bersabar dalam menafakuri hikmah sakit dapat pula berarti bersabar
menjalani proses sakit yang kita alami. Salah satu hikmah sakit ialah
gugurnya dosa bagaikan gugurnya daun-daun pepohonan. Dengan begitu,
salah satu hikmah sakit yang bisa kita reguk ialah kesempatan kita untuk
ber-muhasabah, mengintrospeksi diri, terutama terhadap sejumlah
kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan.
Menyempurnakan ikhtiar untuk sembuh
Ada kalanya orang yang sakit terkadang tidak disiplin memakan obat. Ada
orang yang harus ke dokter ini-itu tetapi terus mengeluh karena uangnya
habis untuk berobat. Padahal tanpa disadarinya biaya itu pun pada
dasarnya dari Allah. Ada juga yang bertahun-tahun terus mengeluh karena
penyakit yang ia derita tidak sembuh-sembuh, padahal telah berobat ke
sana-kemari.
Untuk menyikapinya, cobalah pakai “teori jeruk”. Gambarannya kurang
lebih seperti ini, ada seorang ibu yang membeli jeruk sebanyak satu
kilo. Ketika ia mencoba mencicipinya ternyata jeruk itu masam semua.
Kemudian ia protes pada penjualnya dengan mengatakan, “Kok jeruknya asem
semua?” Si penjual balik bertanya, “Ibu beli berapa kilo?” Ibu itu
menjawab, “Tiga kilo saya beli!” Penjualnya lantas balik menjawab, “Ibu
beli tiga kilo, saya tiga karung! asem semua.
”Untuk itu bersabarlah, karena sakit juga akan menggugurkan dosa-dosa
kita. Dalam sebuah hadis Bukhari diriwayatkan bahwa suatu ketika
Abdullah bin Mas’ud r.a. menghampiri Rasulullah yang tengah sakit. Saat
itu ia meraba tangan rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, penyakit Anda
sangat berat.” Rasulullah memberikan jawaban, “Benar, penyakit saya ini
sama dengan penyakit dua orang di antara kamu.” Abdullah menjawab lagi,
“Itulah sebabnya Anda mendapat pahala dua kali lipat.” Segera Rasul
membalas, “Benar!” Dan dilanjutkan dengan sabdanya lagi, “Setiap orang
Islam yang mendapat bencana penyakit dan lain-lain, maka Tuhan
menggugurkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon kayu
menggugurkan daunnya.
”Tidak ada yang salah dengan sakit. Yang salah adalah sikap kita
terhadapnya. Kalau kita rida, Wa man radhiya falahu ridha, barang siapa
rida pada ketentuan Allah, Dia pun akan rida kepadanya.
Berniat untuk sembuh
Terakhir, kita harus terus ber-azam untuk berniat sembuh. Jangan sampai
sakit menjadi alasan serta sarana untuk menggampang-gampangkan ibadah.
Sabar untuk berniat sembuh akan memotivasi kita agar tidak menyerah pada
rasa sakit. Perjuangan kita menjalani rasa sakit insya Allah dicatat
sebagai jihad fii sabilillah. Justru di saat sakit itulah kita
membuktikan ketaatan kita kepada Allah SWT.
Dengan selalu memancangkan niat untuk sembuh akan membuat diri kita
benar-benar sembuh, tidak cuma sembuh secara fisik tapi juga sembuh dari
sisi spiritual. Inilah yang sering kita sebut dengan sehat walafiat.
Ukurannya adalah, ketika kita sembuh ibadah kita justru makin meningkat.
Ini berarti kita telah mencapai kesembuhan secara afiat. Karena sakit
justru telah menjadi sarana peningkatan ibadah dan inilah yang akan
mengantarkan kita untuk lebih baik lagi dalam mengarungi hidup dengan
penuh kesabaran. Wallahualam bishshawab
from Aa Gym
BalasHapus